Budaya patriarki masih sangat melekat dalam media, perempuan seringkali digambarkan sebagai sosok yang tidak berdaya dan harus melayani pria. Dalam sektor pekerjaan, perempuan dinilai baik apabila bekerja sebagai ibu rumah tangga dan mengurusi keluarga. Perempuan yang tidak bekerja sebagai ibu rumah tangga dinilai melawan kodrat atau nilai yang ada dan tidak menghargai suaminya yang bekerja. Perempuan juga seringkali dijadikan objek penarik minat dalam iklan-iklan. Menurut Tamrin Amalgola ada 5 citra perempuan yang ingin dibangun melalui iklan di media, yaitu:
1. Citra Pigura: Perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal
2. Citra Pilar: Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga
3. Citra Peraduan: Perempuan sebagai objek seksual
4. Citra Pinggan: Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur
5. Citra pergaulan: perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan
(kombinasi.net)
(Iklan produk susu WRP untuk melangsingkan tubuh wanita. Tubuh wanita yang ideal menurut media adalah langsing dan putih)
(Iklan Royco: Wanita dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurusi dapur)
Representasi LGBT di Media
Di Indonesia, kaum LGBT belum begitu sering ditampilkan di media massa. Di media LGBT sering dipandang sebagai hal yang negatif dan dianggap mengancam masyarakat. Acara-acara televisi pun tidak jarang melecehkan kaum LGBT. Dalam berita, pelaku kriminalitas yang homoseksual akan lebih disorot mengenai orientasi seksualnya dan menganggap orientasinya lah yang menyebabkan seseorang berbuat tindakan kriminal, seperti kasus Ryan Jombang. Tidak jarang kaum LGBT dijadikan bahan ejekan dalam acara-acara live. Hal-hal ini menimbulkan pandangan negatif masyarakat Indonesia terhadap LGBT.
(gayindonesia.net) (cnnindonesia.com)
(Waria dalam acara TV Indonesia kerap dijadikan bahan candaan)
Representasi Etnis di Media
Pada tahun 1960an, media Indonesia menampilkan etnis Tionghoa sebagai komunis dan tidak beragama, padahal hanya sedikit sekali yang merupakan simpatisan komunis. Dampak dari pemberitaan ini adalah penculikan dan pembunuhan warga etnis Tionghoa yang tidak bersalah. Pada masa orde baru terdapat peraturan yang melarang beredarnya berita, bacaan, maupun acara yang berbahasa dan beraksara Tionghoa. Etnis Tionghoa sengaja tidak diberikan kesempatan untuk berpolitik dan bersuara. Saat pemeritahan Gus Dur, etnis Tionghoa dapat kembali bersuara. Namun hal itu tidak menghentikan media dari memberi citra negatif pada etnis Tionghoa. Hal ini yang menyebabkan munculnya stereotype negatif pada etnis Tionghoa.
(indonesiamedia.com) (bincangmedia.wordpress.com)
(Kebencian terhadap etnis Tionghoa akibat seringnya pemberitaan negatif mengenai etnis Tionghoa)
0 komentar:
Post a Comment