Media tampil
dalam bentuk komersial paling mudah dilihat saat pemilu, yang dimana selalu terjadi perdebatan antar para
tokoh yang memiliki kepentingan-kepentingan politik . Politisi dan pemilik
media secara terbuka berkolaborasi memanfaatkan media untuk melakukan berbagai
strategi mengekspresikan kepentingan pribadi atau kelompoknya lewat media. Dari
sekadar pencitraan politik hingga modus-modus pembentukan opini untuk memilih
atau tidak memilih kandidat tertentu yang menjadi kawan atau lawan politiknya.
Diskusi
tentang pemanfaatan media untuk kepentingan politik sesungguhnya bukanlah hal yang
baru. Di Amerika Serikat, kemenangan Presiden John F. Kennedy atas lawannya
Richard Nixon di tahun 1960, selalu dikaitkan dengan keberhasilan sang presiden
mempopulerkan dirinya melalui televisi, debat kampanye yang pada saat itu berlangsung
melalui televisi telah membuat jutaan rakyat Amerika Serikat berbondong-bondong
datang untuk memberikan suara mereka pada Kennedy.
Namun akibat
dari adanya media komersial ini dapat secara tidak langsung mempersempit ruang
pemberitaan. Kondisi ini berimplikasi pada langkanya isu-isu publik yang
mestinya bisa diangkat media. Dengan kata lain, masuknya agenda pemilik mau
tidak mau menggeser berita-berita penting lainnya yang relevan dan signifikan
bagi publik. Dalam situasi semacam ini, publik dirugikan karena minimnya
informasi berkualitas yang relevan bagi kehidupan mereka. Jika berbicara dalam
konteks pemilu, penyalahgunaan media telah merampas hak publik untuk memperoleh
informasi pemilu yang lebih beragam, karena tayangan di media yang seharusnya
bisa dimanfaatkan untuk tayangan-tayangan yang informatif, justru diisi oleh
wajah-wajah para pemilik stasiun TV, capres dan cawapres yang didukung, serta
partai politik dari kelompok kepentingan mereka. Pada akhirnya, sebagian media
arus utama cenderung tidak lagi bisa diandalkan kredibilitasnya dalam
menyampaikan informasi.
Regulasi di
Indonesia sebenarnya telah mengatur penyalahgunaan stasiun televisi untuk
kepentingan pemilu ini dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain
melangar UU, tayangan kampanye politik dengan beragam modus juga melanggar
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) tahun 2012,
yang dikeluarkan oleh KPI. Dalam pasal 11 ayat 2.
Aturan di atas
kertas bisa jadi cukup tegas, namun penegakan dan pemberian sanksi atas
pelanggaran aturan dalam praktiknya seringkali tidak sejalan. Terbukti dari
ketidakberdayaan regulator memberikan sanksi tegas kepada pengelola televisi
pelanggar aturan main pemilu. Pada kondisi demikian, kehadiran media komunitas
sangat penting dalam diskusi mengenai demokratisasi media di masa pemilihan
umum, terlebih di tengah tatanan media di Indonesia yang sangat didominasi
swasta sebagai arus utama. Terlalu dominannya lembaga penyiaran swasta yang
tunduk pada rating dan kepentingan pemilik telah terbukti dapat merusak
sendi-sendi demokrasi. Oleh karena itu, lembaga penyiaran swasta memerlukan
penyeimbang, yakni media komunitas.
Jack Snyder
(2003) melihat peran positif yang dapat dimainkan media komunitas, seperti
sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia forum, dan penguat
(revitalitator) sosiokultural bagi komunitas, yang juga sejalan dengan
prinsip-prinsip good local governance
seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat komunitas.
Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum bagi
pengambilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan keputusan dan hasil
akhir dari keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Media
komunitas pada dasarnya memainkan peran yang hampir sama dengan media massa
pada umumnya, hanya saja wilayahnya yang terbatas. Terbatasnya jangkauan media
komunitas ini justru diharapkan dapat memberikan layanan yang lebih spesifik
dan membuka partisipasi penuh kepada para komunitas karena media ini merupakan
refleksi dari apa yang hanya menjadi kebutuhan komunitasnya. Ini berbeda dengan
media swasta komersial yang selalu menggunakan logika besaran jumlah penduduk
dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya. Akibatnya, daerah-daerah yang
miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan tidak akan dilayanani media
swasta.
Kehadiran
radio komunitas memberi kontribusi pada pelaksanaan demokratisasi di tingkat
pedesaan. Sejumlah peran demokratis dibawa oleh lembaga penyiaran komunitas
seperti memberi kesempatan masyarakat untuk mengontrol pemerintah setempat,
memaksa adanya transparansi, pertanggungjawaban dari pemerintah kepada
masyarakat, serta mengontrol pemilihan kepala desa secara terbuka.
Dengan kehadiran
media komunitas, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self controlling) terhadap
isi media, sehingga pengelola media komunitas, tidak bisa sewenang-wenang
menampilkan isi media yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya
komunitas.
Selain
berkontribusi dalam menjaga proses demokratisasi pada komunitas, di satu sisi,
media komunitas juga berpotensi membawa membuat media beranjak dari pola
pemberitaan yang hanya mengikuti agenda setting media arus utama dan gagal menjaga jarak serta ikut larut secara
emosional dengan dinamika kompetisi berita politik di media arus utama,
akibatnya liputan menjadi kurang sesuai dengan kebutuhan spesifik warga.
Menjawab
tantangan ini, pengelola media komunitas harus melakukan penguatan internal,
khususnya dalam menghadapi rangkaian pemilu. Penguatan tersebut dimulai dari
proses rekrutmen media komunitas yang ditugaskan secara khusus menjadi
pewarta pemilu. Selanjutnya mereka diberi pelatihan tentang pengetahuan dasar
dalam meliput dan memberitakan pemilu yang disesuaikan dengan format media
maupun kekhasan dan kebutuhan komunitasnya, yang dapat diperoleh dari
pengetahuan pengelola media komunitas dan masyarakat sekitar mengenai informasi
apa yang mereka butuhkan terkait pemilu di wilayahnya.
Dalam kaitan
ini, yang perlu disampaikan dalam media adalah informasi umum, sederhana dan
bermanfaat yang perlu disampaikan, seperti tata cara pemilu, profil kandidat,
bentuk-bentuk pelanggaran pemilu, lokasi TPS, jadwal pencoblosan, cara menjadi
saksi/relawan, pengurusan hak pilih bagi yang belum terdaftar, serta
informasi-informasi ringan seputar pemilu yang melibatkan narasumber dari masyarakat,
tokoh masyarakat, panitia pemungutan suara, dan aparat setempat.
Secara singkat perbedaan dari radio/tv komunitas dengan radio/tv komersial adalah sebagai berikut:
ASPEK
|
RADIO-TV
KOMERSIAL
|
RADIO-TV
KOMUNITAS
|
Investasi
|
Swasta
|
Iuran anggota Komunitas
|
Biaya Operasional
|
Iklan
|
Iuran komunitas, hibah/bantuan tidak mengikat
|
Misi
|
Mencari Keuntungan
|
Pelayanan pada Komunitas
|
Sasaran
|
Segmented/kelompok masyarakat yg dianggap potensial
|
Anggota komunitas
|
Jangkauan Siaran
|
Terbatas pada wilayah tertentu
|
Sangat terbatas
|
Orientasi materi siaran
|
Memenuhi keinginan khalayak
(mass culture)
|
Memenuhi kepentingan komunitas
|
Pengelolaan
|
Profesional
|
Semi profesional
(sukarelawan)
|
Supervisi dan kontrol program
|
Owner
|
Anggota komunitas
|
Indikator keberhasilan
|
Laba perusahaan (finansial)
|
Terpeliharanya kebudayaan komunitas yang bersangkutan
|
Pertanggungjawaban kepada
|
Owner
|
Anggota komunitas
|
SUMBER:
Suhardi, S. S. (2009). Sosiologi 2 : Untuk SMA/MA Kelas XI. [e-book]. Diakses melalui https://www.scribd.com/doc/89227661/Kelas-XI-SMA-IPS-Sosiologi-2-Suhardi
Suryandaru, Yayan. (2013). Hand out lembaga penyiaran komersial. Diakses melalui http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-Hand%20Out%20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html
Yusuf, Iwan. (2016). Media komunitas dalam pemilu: ketika media Aaus utama tak lagi dipercaya. Diakses melalui https://pr2media.or.id/media-komunitas-dalam-pemilu-ketika-media-arus-utama-tak-lagi-dipercaya/
Suryandaru, Yayan. (2013). Hand out lembaga penyiaran komersial. Diakses melalui http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-Hand%20Out%20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html
Yusuf, Iwan. (2016). Media komunitas dalam pemilu: ketika media Aaus utama tak lagi dipercaya. Diakses melalui https://pr2media.or.id/media-komunitas-dalam-pemilu-ketika-media-arus-utama-tak-lagi-dipercaya/
0 komentar:
Post a Comment