Friday, March 31, 2017

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.

Lain halnya dengan di Indonesia, pertama kali kemunculannya di Betawi atau Batavia yang kini menjadi Jakarta istilah film disebut dengan Gambar Idoep. Gambar idoep ini tiba di Batavia dan untuk pertama kalinya dipertontonkan pada warga adalah pada tanggal 5 Desember 1990. Pertunjukan film ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang diputar adalah sebuah film documenter tentang peristiwa yang terjadi di Eropa dan Afrika Selatan, termasuk documenter politik yang berisi gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.
Pada masa colonial Belanda, Indonesia memiliki bioskop yang didirikan oleh Belanda, dan saat awal kemunculannya film itu juga diputar di bioskop. Beberapa bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan di Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) dan satu lagi bisokop Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibedakan berdasarkan ras. Bioskop untuk orang-orang Eropa hanya memutar film dari kalangan mereka. Sedangkan bisokop untuk pribumi dan Tionghoa, memutar film import dan film produksi lokal. Yang unik adalah sebutan untuk bioskop pribumi, yaitu bisokop kelas kambing karena penonton sangat berisik seperti kambing, yang menyebabkan penonton sangat berisik adalah dikarenakan film yang di produksi pada masa itu tidak bersuara dan disebut sebagai film bisu, dan film bicara muncul dan diputar pertama kali di Indonesia pada akhir tahun 1929 dengan judul Fox Follie dan Rainbouw Man. Film produk lokal yang diputar pertama kali di bioskop pribumi berjudul Loetoeng Kasaroeng pada tanggal 31 Desember 1926 dan diputar selama satu minggu hingga tanggal 6 januari 1927.
Film Loetoeng Kasaroeng di produksi oleh dua bersaudara pemimpin perusahaan film Java Film Company yaitu G. Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia.

Pada tahun 1931. Pembuat film lokal mulai mencoba memproduksi film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun yang menggarap film perdananya bertajuk Bunga Roos dari Tjikembang. Hingga tahun 1934 perkembangan film bicara oleh perusahaan film lokal belum mendapatkan sambutan yang antusisas dari penontonnya. Hingga munculah nama Albert Balink yang tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, dengan judul Terang Boelan.


Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.

Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.

Sumber:
http://masscommfour.blogspot.co.id/2017/03/sejarah-film-diindonesia-filmpertama.html

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts